SOBOOST, Produk Kreasi Pewarnaan Terbaru Dari Matrix

 

GayaKeren.id – Memahami tren rambut yang terus berganti, Matrix dari L’Oréal Indonesia kembali menghadirkan teknik pewarnaan rambut COLOR MELTING melalui tren warna yang bernuansa dingin seperti biru dan ungu, yang sejalan dengan tren warna pantone tahun ini yaitu, Ultra Violet. Di tahun 2018, teknik COLOR MELTING didukung dengan produk pewarnaan terobosan terbaru dari Matrix yaitu SOBOOST yang dapat membantu hairdressers untuk menghasilkan variasi warna rambut yang sesuai dengan kreatifitas mereka, serta memenuhi kebutuhan konsumen untuk selalu up to date terhadap tren warna rambut masa kini.  Tren warna COLOR MELTING 2018 diluncurkan pada Hair Show COLOR MELTING di Ballroom Ritz Carlton Jakarta dengan make up yang didukung oleh Maybelline New York Indonesia. Acara ini menghadirkan Artistic Collective Matrix Global, Dan Csicsai, dan Artistic Talent Matrix Indonesia, Rudy Hadisuwarno, Candra Suyatno serta Top 5 Hairdressers Matrix Colorists Battle 2018 berkolaborasi dengan 5 Influencers.

Teknik COLOR MELTING merupakan evolusi dari teknik ombre dan balayage dengan memadukan tiga warna atau lebih secara natural yang menimbulkan efek “melted” atau meleleh sehingga menyatu dengan sempurna dan menciptakan gradasi warna rambut yang tampak alami sebagai tren warna rambut terkini yang didukung oleh produk pewarnaan booster pertama dari Matrix.

Brand General Manager Matrix Indonesia, Amanda Indarwulan menjelaskan “Teknik COLOR MELTING menciptakan gradasi alami  pada pewarnaan rambut yang dihasilkan dari kombinasi warna dan pantulan berbeda. Hari ini kami meluncurkan tren terbaru di tahun 2018 COLOR MELTING yang didominasi warna bernuansa dingin, seperti biru dan ungu, dan Matrix berkomitmen untuk memastikan konsumen dapat memiliki warna rambut yang sesuai dengan tren yang sedang populer saat ini, namun tetap disesuaikan dengan keinginan dan kepribadiannya masing-masing, sehingga teknik COLOR MELTING dapat diaplikasikan untuk warna natural hingga warna fashion.”

Artistic Collective Matrix Global, Dan Csicsai menambahkan “Ultra Violet merupakan tren warna pantone tahun ini, sehingga warna biru dan ungu akan menonjol di tahun 2018. Sejalan dengan tren ini, Matrix meluncurkan tren COLOR MELTING 2018 dengan nuansa warna-warna dingin seperti biru dan ungu”.

Untuk mendukung tren yang terus berkembang, hari ini Matrix memperkenalkan SOBOOST sebagai produk pewarnaan booster pertama dari Matrix yang dapat melengkapi portofolio warna menjadi lebih bervariasi sehingga dapat mendukung kreatifitas para hairdressers dan menjawab kebutuhan para konsumen agar selalu mengikuti tren warna rambut masa kini.

SOBOOST merupakan produk pewarnaan yang dapat digunakan sendiri atau digunakan sebagai booster untuk SoColor yang memiliki tiga warna dasar yaitu biru, merah dan kuning. Dengan mengedepankan simplicity, Matrix membuktikan bahwa dengan warna-warna tersebut, Matrix mampu menghasilkan kreasi warna yang tidak terbatas, sehingga memberikan keleluasaan bagi para hairdressers untuk dapat mengembangkan kreatifitasnya semaksimal mungkin dengan menciptakan ragam warna yang bervariasi. Selain itu SOBOOST dapat digunakan untuk menetralisir warna kekuningan yang tidak diinginkan atau mengintensifkan warna merah, merah keunguan, dan ungu.

“Matrix Indonesia selalu memahami kebutuhan konsumen untuk selalu up to date dengan tren warna yang terkini dan membantu para hairdressers untuk selalu mengembangkan kreatifitasnya dalam menghasilkan variasi warna rambut yang beragam, oleh karena itu di tahun 2018 Matrix akan mengedepankan teknik COLOR MELTING sebagai teknik pewarnaan rambut yang dapat disesuaikan dengan tren warna rambut terkini dan didukung dengan portfolio warna dari Matrix”, tutup Amanda.

 

 

 

Ketahui Penyebab Anak Perempuan Bisa Jadi Tomboi

 

GayaKeren.id – Tomboi adalah istilah yang disematkan pada perempuan yang memiliki sifat atau perilaku yang dianggap masyarakat sebagai peran tipikal gender laki-laki. Seorang wanita yang memiliki sifat ini cenderung menyukai hal-hal yang maskulin serta suka menggunakan pakaian, pekerjaan, dan permainan yang biasa dilakukan laki-laki. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Melansir klikdokter, Menurut sebuah studi dari Child Development, hal ini disebabkan karena meningkatnya kadar testosteron selama masa kehamilan dan pengaruh lingkungan sebelum anak perempuan memasuki masa sekolah. Salah satu temuan studi ini adalah, semakin banyak paparan testosteron yang dialami anak perempuan ketika di dalam di rahim, semakin besar pula kemungkinkan ia akan menjadi tomboi. Kelak ketika ia tumbuh dewasa, ia akan lebih menyukai permainan yang umumnya dimainkan oleh anak laki-laki.

Pengaruh Testosteron

Menggunakan data dari Avon Longitudinal Study of Parents and Children yang merupakan studi jangka panjang tentang masa kehamilan dan kesehatan anak, para peneliti mengamati 679 anak berusia 18 bulan yang lahir di awal tahun 1990-an. Penelitian ini mengambil sampel darah ibu selama masa kehamilan untuk dianalisis kadar testosteronnya (atau juga disebut hormon laki-laki).

Tidak hanya itu, begitu anak mencapai usia 3,5 tahun, seorang pengasuh melengkapi kuesioner dengan menilai keterlibatan anak dalam berbagai perilaku gender, seperti pemilihan permainan anak berdasarkan gender dan berbagai aktivitas lain. Hasilnya, tingkat testosteron yang tinggi selama masa kehamilan ternyata berpengaruh terhadap tingkat “maskulinitas” anak perempuan.

Seperti dikutip di laman WebMD, Melissa Hines, PhD, peneliti dari City University di London dan rekannya mengatakan, faktor lain seperti pendidikan ibu, saudara laki-laki dan perempuan yang lebih tua atau orang dewasa laki-laki di rumah, serta pandangan orang tua terhadap peran gender tertentu, juga dapat memengaruhi munculnya perilaku tomboi. Namun, para peneliti mengatakan bahwa beberapa faktor tersebut belum diperhitungkan dalam hubungan antara testosteron dan perilaku yang ditemukan dalam penelitian ini.

Peran orang tua

Meski begitu, para periset mengatakan bahwa hubungan antara testosteron dan perilaku anak perempuan dalam penelitian ini hanya menyumbang 2 persen dari varian dalam perilaku gender saat masa prasekolah. Periset juga mengatakan bahwa anak perempuan mungkin sangat rentan terhadap efek testosteron, namun faktor sosial juga dapat berdampak pada perilakunya di kemudian hari.

Lebih jauh lagi penelitian tersebut menyebutkan, dibandingkan dengan anak perempuan, anak laki-laki lebih terdorong dalam berperilaku sesuai tipikal jenis kelamin dan tidak tertarik untuk terlibat dalam perilaku lintas gender. Karena itu, anak perempuan lebih mungkin menunjukkan kecenderungan predisposisi terkait hormon terhadap perilaku peran gender yang lebih berkarakter lewat jenis kelamin lain.

Jika hal ini membuat Anda sebagai orang tua khawatir, ingatlah bahwa saat anak berkembang, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, ia harus melewati tahapan-tahapan baik secara fisik, kognitif, maupun psikososial. Peran orang tua di sini adalah mempersiapkan si anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Kendala sudah pasti akan dijumpai, seperti misalnya sifat anak yang tomboi. Namun dari sinilah anak belajar untuk berproses.