Gayakeren.id –Indonesia memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, terutama dalam hal sumber pangan lokal. Namun, kenyataannya, ketergantungan masyarakat pada beras dan gandum masih sangat tinggi. Berdasarkan data yang diungkapkan dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia, konsumsi beras di Indonesia mencapai 74,6% dari total kebutuhan karbohidrat pada 2017, meningkat drastis dari 53,5% pada 1954. Tren ini menimbulkan ketergantungan yang signifikan pada impor, yang tentunya memengaruhi stabilitas ekonomi nasional.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, harga beras di beberapa daerah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur, Wakatobi, dan Mentawai, mencapai Rp17.000 hingga Rp20.000 per kilogram, jauh lebih mahal dibandingkan harga di Pulau Jawa. Ketidakadilan ini menunjukkan adanya permasalahan distribusi pangan yang memperparah kondisi ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.
Diversifikasi pangan lokal menjadi solusi penting untuk meminimalisir ketergantungan pada beras dan gandum, sekaligus memperkuat perekonomian lokal. Sebagaimana diungkapkan oleh Puji Sumedi Hanggarawati, Manajer Program Pertanian Yayasan KEHATI, mempromosikan sagu, jagung, dan umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat alternatif dapat mengurangi konsumsi beras secara signifikan. Bahkan, jika masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi beras satu hari saja setiap minggunya, dapat menghemat 3,37 juta ton beras setiap tahun.
Kebijakan diversifikasi pangan lokal ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat secara luas, tetapi juga dapat menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Contoh nyata terlihat di Pulau Sangihe, di mana kebijakan “two days no rice” yang didukung oleh Yayasan KEHATI telah berhasil menghemat anggaran pembelian beras impor hingga Rp65,7 miliar. Penghematan ini langsung memberikan dampak positif pada perekonomian daerah sekaligus mengurangi beban impor.
Tidak hanya itu, diversifikasi pangan lokal juga memberikan keadilan bagi para petani kecil yang selama ini kurang mendapatkan manfaat ekonomi dari ketergantungan pada beras. Para petani jagung, sagu, dan umbi-umbian akan lebih dihargai dan bisa berkontribusi lebih besar terhadap ekonomi lokal, sehingga kesejahteraan mereka meningkat. Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, menekankan pentingnya transformasi sistem pangan yang adil bagi petani kecil, yang sering kali tersisih dalam sistem pangan yang berorientasi pada beras dan gandum.
Dalam konteks ketahanan pangan, diversifikasi pangan lokal memiliki potensi untuk mengurangi tekanan pada impor. Saat ini, meskipun Indonesia kaya akan sumber pangan lokal, kita masih terjebak dalam mentalitas “miskin” karena kurangnya pemanfaatan kekayaan hayati yang ada. Menurut Ifan Martino dari Bappenas, Indonesia perlu memperbaiki ketidakseimbangan antara permintaan pangan yang terus meningkat dan sumber daya pertanian yang terbatas. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat sistem pangan berbasis potensi lokal, seperti diversifikasi pangan dan pertanian konservasi.
Pentingnya diversifikasi pangan lokal sudah diakui oleh pemerintah dan berbagai pihak, seperti yang terlihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Namun, implementasinya membutuhkan dukungan kebijakan yang konsisten dan kesadaran masyarakat untuk mengubah pola konsumsi.
Diversifikasi pangan lokal bukan hanya solusi untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia, tetapi juga menjadi kunci untuk memperkuat ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor beras dan gandum. Dengan kebijakan yang tepat dan kesadaran masyarakat untuk mengubah pola konsumsi, Indonesia bisa memanfaatkan keanekaragaman hayati sebagai kekuatan ekonomi yang berkelanjutan.
Ke depan, upaya diversifikasi pangan lokal harus terus didorong melalui edukasi, kebijakan, serta insentif ekonomi yang tepat bagi petani lokal. Masyarakat Indonesia harus mulai mengakui bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal pasokan beras, tetapi juga soal keberagaman pangan yang dapat memperkuat kemandirian ekonomi negara.